video blog : Ilir -Ilir - Pertahankan Belimbingmu yang Lima

Bagi yang berdarah keturunan jawa atau setidaknya pernah tinggal di daerah Jawa pastinya sering mendengar lagu @ tembang Ilir-Ilir, tapi adakah anda tahu maksud yang tersirat di sebalik tembang @ lagu tersebut?? Saya sering mendengarnya ketika ustaz saya di kampus dahulu memperdengarkan kepada saya dalam satu daurah (kursus) ketika beliau memberi pengisian bertajuk "dakwah kreatif wali songo". Cuma pada waktu itu saya belum memahami apa maksud disebalik lagu tersebut. Kali terakhir saya mendengar lagu ini, ialah sewaktu saya mengikuti training MCB ESQ 165 di hotel Sheraton lepas. Barulah saya dapat memahami apa maksud yang terkandung dalam tembang @ lagu tersebut. Bagi yang belum pernah mendengar, saya tuliskan lirik dan saya letakkan (embed) video yang saya ambil dari laman youtube untuk didengar. Maksudnya pula saya sertai satu persatu pada rangkap lagu tersebut. Lagu ini adalah kaedah dakwah kreatif salah seorang dari wali songo yang bernama Sunan Kalijaga.



"lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir"
Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi

Kanjeng Sunan Kali Jaga mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam dari para wali.

Maksud : Kata Lir-ilir berasal dari bahasa Jawa “Ngelilir” dan dalam bahasa Indonesia dan bahasa melayu boleh difahami dengan maksud terjaga / bangun dari tidur. Maksudnya ialah, orang yang belum masuk (agama Islam) dikatakan masih tidur / belum sedar.

Nilai : Pada rangkap tembang di atas, kata “Lir-ilir, Lir-ilir” (diulang sebanyak dua kali), maksudnya ialah “bangun-bangun” (bangkitlah-bangkitlah), bangunlah ke alam pemikiran yang baru, iaitu Islam.

“tandure wis sumilir”
maksud : “tandure” berarti “benih” yang ditanam manakala “wis sumilir” berarti sudah tumbuh. Jadi, baris “tandure wis sumilir” memberi makna yang dianalogikan dengan benih yang ditanam sudah mulai tumbuh. Benih di sini berarti iman, yaitu iman Islam.

Nilai : Pada dasarnya semua manusia yang dilahirkan di muka bumi ini telah dianugerahi benih berupa iman oleh Allah swt. Sedar atau tidak , bergantung kepada mereka yang mencari dan ingin kembali kepada fitrah (iman). Jika mereka “sedar” akan adanya benih itu dalam dirinya dan mahu merawat (mengubah) dengan dengan baik dirinya setiap hari, maka benih itu akan tumbuh subur, bahkan, tentunya akan menghasilkan buah yang baik pula.

Perawatan benih iman itu dapat dibuat seperti berikut:
-Membaca Al Quran atau bacaan-bacaan lainnya (Hadis 40, dan lain-lain).
-Menghadiri kuliah pengajian (daurah).
-Mendekatkan diri dengan ulama dan ilmuwan.
-Menjalin hubungan baik / silaturrahmi dengan sesama manusia.

Masih banyak lagi makanan rohani yang boleh dipupuk untuk membina iman dan yang tentunya dilaksanakan dengan penuh keikhlasan.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru

Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.

Maksud : “Tak ijo royo-royo” – Dibuat tumbuh subur, daunnya hijau nan segar. Maksud kalimat tersebut nampaknya menekankan “penampilan” tentang peribadi muslim yang menyenangkan. Adanya benih iman yang selalu dirawat akan menjadikan peribadi muslim yang sihat jasmani dan rohani. “Ijo-royo-royo” merupakan lambang tanaman yang subur karena dirawat dengan baik.

“Tak sengguh penganten anyar” – bagaikan pasangan pengantin baru. Pengantin digambarkan pasangan mempelai. Analogi ini dikaitkan dengan diri manusia yang menemukan keyakinan imannya, ibarat pertemuan pasangan yang baru menjadi pengantin. Pastinya, Pasangan pengantin baru sangat berbahagia dalam saat-saat disatukan. Apatah lagi dengan maksud dari rangkap ini,“tak sengguh penganten anyar,” iaiatu saat diri yang telah bersanding dengan keyakinan iman Islam.

Jadi, maksud dari “Tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar” berarti benih iman seseorang yang dirawat dengan baik akan menghasilkan seorang muslim yang baik pula. Kebahagiaan seorang muslim di sini ibarat pengantin baru.

Iman yang kukuh yang digambarkan dengan “tak ijo royo-royo” tadi, haruslah selalu dijaga dan dirawat dengan baik. Benih yang ditanbam tidak akan “tak ijo royo-royo” lagi bila terkena gangguan serangga perosak. Analogi ini boleh kita kaitkan dengan iman seorang muslim. Pemantapan iman supaya tetap teguh dan kukuh haruslah mampu menghalau agen-agen perosak (contoh : tindakan kemungkaran). Berjudi, mencuri, zina, minum minuman keras, dan sejenisnya merupakan serangga perosak iman yang harus segera dibasmi.

Nilai : Perkukuhkan peribadi muslim. Disarankan melatih keperibadian muslim berasaskan ciri-ciri yang digariskan oleh Hassan Al-Banna seperti yang diungkapkan oleh beliau, Asleh Nafsaka, wad'u ghairaka" (Ubahkanlah dirimu, dan sebarkan kepada orang lain).

10 Ciri Keperibadian Muslim

  • Aqidah Sejahtera
  • Ibadah yang benar
  • Akhlak yang mantap
  • Mampu berdikari
  • Pengetahuan yang luas
  • Tubuh badan yang kuat
  • Mujahadah diri
  • Kerja bersistematik
  • Menjaga waktu
  • Bermanfaat kepada orang lain

Bocah angon, bocah angon, penekno blimbing kuwi
Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu.

Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun islam dan solat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran Islam yang sebenar. Iaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan konsisten solat lima waktu.

Maksud : “Cah angon” berarti anak gembala. Kata-kata tersebut diulang sehingga dua kali, yang berarti di sini terdapat penekanan, adanya perintah yang penting. Perintahnya iaitu : “penekno blimbing kuwi” (panjatlah belimbing itu). Selain perintah ini ditujukan kepada pemimpin. Perintah ini juga ditujukan kepada pihak bawahan atau kedudukan yang lebih rendah dari pihak atasan atau yang kedudukan yang lebih tinggi. Analogi ini boleh di tamsilkan kepada “orang tua (ibu bapa) yang mengajar anaknya.”

Analogi keduanya, mengapa yang harus diperintah ialah “bocah angon?” Ada gembala?? pasti ada yang digembalakannya. Erti "bocah angon" bukan hanya dituju kepada pemimpin dan yang dipimpin. Analoginya juga turut ditujukan kepada diri manusia itu sendiri. Diri kita sebagai insan mempunyai kewajiban untuk menjadi pegembala yang menggembalakan nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu-nafsu yang dimiliki setiap orang ini, jika tidak digembalakan (mendidik hawa nafsu), akan merosakkan dan tentunya akan melanggar perintah / aturan agama. Keperibadian insan haruslah berperanan sebagai gembala yang baik. Nilainya, “cah angon” merupakan sebutan yang diperuntukkan untuk seorang muslim yang menjadi gembala atas nafsu-nafsunya sendiri. Jika dirinya terdidik dan terpelihara dengan mendidik dan mampu mengembala hawa nafsunya, insha Allah, tatkala diri diamanahkan sebagai pemimpin, kita bisa memimpin rakyat dengan baik sebagaimana baiknya kita menjaga hawa nafsu.

“Penekno blimbing kuwi.”

Maksud : Ini bukanlah bermaksud harus memanjat buah belimbingnya, namun “panjatlah pohon belimbing itu.” Analogi ini bagi saya cukup memberi makna yang mendalam yang disampaikan dalam senikata dan tamsilan yang menarik. Perintah supaya dipanjat pohon belimbingnya untuk meraih buahnya. Timbul pertanyaan, mengapa harus belimbing yang dijadikan contoh di sini, mengapa tidak buah durian, mangga atau strawberi?

Semestinya kita tahu bahawa belimbing mempunyai 5 sisi. Gambaran 5 sisi belimbing ini sebenarnya merujuk kepada rukun Islam yang lima, yaitu :
- Mengucap dua kalimah Syahadat
- Shalat
- Zakat
- Puasa
- Haji

5 sisi belimbing lain yang boleh di gambarkan juga ialah solat 5 waktu yang perlu di lakukan secara konsisten. Solat merupakan terapi yang boleh membina karakter keperibadian yang baik.


Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro.
Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu.

Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet. Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.

Maksud : Rangkap ini berhubung kait dengan baris sebelumnya “Cah angon-cah angon, peneken blimbing kuwi”). Licin merupakan halangan bagi si pemanjat. Haruslah memanjat dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Jika tidak, maka akan tergelincir jatuh. Begitu juga tamsilannya dengan perintah agama. Jika tidak dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh,mungkin akan tergelincir ke neraka. Analogi ini secara pandangan kasar, jalan menurun sememangnya lebih mudah daripada jalan menaik, jalan menuju ke neraka lebih mudah daripada jalan menuju ke surga. Bukankah minum minuman keras, judi, berzina, berdusta, memfitnah lebih mudah daripada mencegah kemungkaran, mengerjakan solat dan berpuasa? Namun, bagi “cah angon” yang taat, perintah Allah untuk memanjat “blimbing” tadi bukanlah beban dan bukan sesuatu yang berat baginya (untuk meraih buah yang lezat, yaitu surga).

“Kanggo mbasuh dodotiro” mempunyai maksud : berguna untuk membersihkan atau mensucikan kepercayaan kita, hingga benar-benar menjadi kepercayaan yang suci. Dodot ialah pakaian kebesaran di lingkungan kraton. Dodot = pakaian. Analogi ini diibaratkan sebagai “kepercayaan.” Pada zaman “WaliSongo” dulu, banyak orang yang memeluk agama Hindu, Buddha, dan Animisme. Hal-hal seperti itu dicuci dengan “iman Islam” oleh WaliSongo, hingga jadilah agama yang bersih dan benar yaitu agama Islam. Salah satu pembersihnya yaitu rukun Islam yang lima.


Dodot iro, dodot iro, kumitir bedhah ing pingggir
Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek

Saat kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.

Maksud : Keterangan sebelumnya menerangkan bahawa “dodot” menggambarkan agama atau kepercayaan yang dianut. “Kumitir bedah ing pinggir” pula membawa maksud banyak robekan-robekan di bagian tepi.

Dondomono, jlumatono, kanggo seba mengko sore
Jahitlah dan perbaikilah untuk menghadap pemimpinmu (Gustimu) di akhir siang.

Analogi menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh karena itu disebut 'paseban' yaitu tempat menghadap raja. Di sini Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah SWT di hari nanti.

Maksud : “dondomana jlumatana” @ dijahit atau diperbaiki. Pakaian yang rusak tadi hendaklah diperbaiki agar pantas dipakai lagi. Demikian juga halnya dengan kepercayaan kita. Bila rosak kerana dosa-dosa yang telah dilakukan, hendaklah diperbaiki dengan cara memohon ampun kepada Allah (taubat) dan konsisten melakukan rukun Islam sebaik-baiknya.

“Kanggo seba” pula menekankan kepada hamba-Nya supaya “datang, menghadap Yang Maha Kuasa, iaitu Allah.” Sedangkan “sore” membawa maksud “akhir dari perjalanan.”Akhir dari perjalanan manusia.

Nilai : Jadi, maksud dari tembang “Kanggo seba mengko sore” iaitu “untuk menghadap Allah nanti bila perjalanan hidup sudah berakhir.” Hikmahnya iaitu bagaimana kita melaksanakan perintah dengan mengamalkan rukun Islam dengan baik sebagai bekal untuk menghadap Allah kelak ketika hidup sudah berakhir.

Mumpung padhang rembulane, mumpun jembar kalangane
Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat (cahayanya) masih luas dan lapang

Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah kehidupan beragamamu.

Maksud : Tanpa cahaya bulan pada malam hari (tanpa penerang apapun) akan gelap gelita, tidak dapat melihat apa-apa. Disaat “kegelapan” ini, orang akan sulit (bahkan tidak mampu) membedakan yang haq dan batil (mana yang baik/benar dan mana yang buruk/salah/haram).

Namun, dalam suasana gelap itu sesungguhnya terdapat “sinar ” dari cahaya bulan (Sinar Islam), sehingga mampu untuk melihat dengan jelas mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang batil.

Nilai : “Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” adalah selagi masih ada kesempatan bertaubat untuk meraih ganjaran Allah iaitu syurga dengan melaksanakan perintah agama, iaitu Rukun Islam yang lima tadi. Dengan adanya sinar Islam itu, kita mampu membezakan mana yang benar dan mana yang salah. Kesempatan yang baik dan dan kesempatan yang masih luas itu janganlah disia-siakan begitu saja. Semua itu merupakan ajakan untuk seluruh umat manusia agar melaksanakan kelima rukun Islam dengan baik dan benar.

Ya suraka, surak hiya
Ya, bersoraklah, berteriak-lah pada Ia

Disaat nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti, sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragama-nya dengan baik untuk menjawabnya dengan gembira.

Maksud : Baris di atas (Ya, bersoraklah, berteriak-lah pada Ia) merupakan ajakan untuk bersorak. Analogi Sorakan ini merupakan ekspresi kebahagiaan dan kesenangan bagi yang meraihnya.

Mengapa harus berbahagia? Tak lain kerana berhasil melaksanakan perintah “Penekna blimbing kuwi (panjatlah pohon belimbing itu),dan lunyu-lunyu ya penekna (Biarpun licin, tetaplah memanjatnya,).” Kebahagiaan ini diperoleh sebagai hadiah dari pekerjaannya “memanjat belimbing itu” (meraih syurga).

Maksud dari baris ini ialah, untuk mengajak “Si Cah Angon - pengembala” (seorang muslim) yang telah melaksanakan perintah “penekna blimbing kuwi” dengan baik, untuk berbahagia kerana akan memperoleh pahala dan ganjaran syurga.


iLuvislam.com Top Blog